MASYARAKAT
MADANI
DALAM PANDANGAN ISLAM
MAKALAH
Diajukan
guna memenuhi tugas
dalam
mata kuliah Pancasila dan
kewarganegaraan
Dosen
Pengampu :
Dra. Hj. Ermi Suhasti S., MSI.
Disusun
Oleh :
Royfa Tri Pamungkas
NIM : 12350027/AS-A
AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Masyarakat madani merupakan bentuk Indonesia dari
istilah bahasa Inggris civil society yang memiliki kandungan
makna bagaimana sebuah negara itu harus berlaku kepada masyarakat yang
dinaunginya. Secara umum cita-cita ideal dari masyarakat madani adalah
memberikan sesuatu yang terbaik kepada warga masyarakat yang berada di
dalamnya.
Sebenarnya merupakan masalah yang sulit untuk mencari
padanan kata civil society dalam bahasa Indonesia. Sebab
istilah ini memiliki kandungan makna yang begitu luas. Peng-Indonesia-an kata
per kata dirasa tidak memenuhi untuk menggambarkan makna yang terkandung dalam
bahasa aslinya. Namun demikian bebarapa cendekiawan kita telah berusaha
memberikan padanannya. Salah satu yang paling terkenal adalah dari apa yang
digagaskan oleh Nurcholis Madjid berupa masyarakat madani. Padanan
ini beliau lontarkan dalam pembahasan tentang bagaimana masyarakat yang ideal
dalam pandangan Islam, mengingat latar belakang beliau sendiri adalah
cendekiawan muslim Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah masyarakat madani itu sebenarnya merujuk pada
masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi Muhammad di negeri Madinah.
Perkataan Madinah dalam bahasa arab dapat dipahami dari dua sudut
pengertian. Pertama, secara konvensional kata madinah dapat
bermakna sebagai “kota”, dan kedua, secara kebahasaan dapat berarti
“peradaban”; meskipun di luar kata “madaniyah” tersebut, apa yang
disebut peradaban juga berpadanan dengan kata “tamaddun” dan “hadlarah”.
Sebelumnya, apa yang dikenal sebagai kota madinah itu
adalah daerah yang bernama Yatsrib. Nabi-lah yang kemudian mengubah namanya
menjadi Madinah, setelah hijrah ke kota itu. Perubahan nama Yatsrib menjadi
Madinah pada hakikatnya adalah sebuah proklamasi untuk mendirikan dan membangun
masyarakat berperadaban di kota itu. Dasar-dasar masyarakat madani inilah, yang
tertuang dalam sebuah dokumen “Piagam Madinah” yang didalamnya menyangkut
antara lain wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, tanggung
jawab sosial dan politik, serta pertahanan, secara bersama.
Di kota Madinah-lah, Nabi membangun masyarakat
berperadaban berlandaskan ajaran Islam, masyarakat yang bertaqwa kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa. Semangat ketaqwaan yang dalam dimensi vertical untuk
menjamin hidup manusia, agar tidak jatuh hina dan nista.
Ciri mendasar dari masyarakat madani yang dibangun Nabi
Muhammad antara lain :
1.
egalitarianisme (doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama
derajat)
2. penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan
kesukuan, keturunan, ras, dan sebagainya)
3. keterbukaan partisipasi seluruh anggota (masyakat
aktif)
4. penegakan hukum dan keadilan
5. toleransi dan pluralisme
6. musyawarah
Dalam mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan
manusia-manusia yang secara pribadi berpandangan hidup dengan semangat
Ketuhanan, dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia. Untuk
itu, Nabi telah memberikan keteladanan dalam mewujudkan ciri-ciri masyarakat
madani.
Dalam rangka penegakan hukum dan keadilan misalnya, Nabi
tidak membedakan antara orang atas dan orang bawah. Nabi pernah menegaskan
bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah jika orang atas melakukan
kejahatan dibiarkan, tetapi kalau orang bawah melakukan pasti dihukum. Karena
itu, Nabi juga misalnya menegaskan contoh, bahkan seandainya Fatimah, putri
kesayangannya melakukan kejahatan, maka akan dihukumnya sesuai ketentuan yang
berlaku.
Masyarakat madani membutuhkan adanya pribadi-pribadi
yang tulus yang mengikatkan jiwa pada kebaikan bersama. Tetapi, meskipun
demikian komitmen pribadi saja sebenarnya tidak cukup. Mengingat “itikad baik”
bukan perkara yang mudah diawasi dari luar diri. Maka harus diiringi dengan
tindakan nyata yang mewujud dalam bentuk amal saleh. Tindakan ini harus
diterapkan dalam kehidupan kemasyarakatan, dalam tatanan kehidupan kolektif
yang memberi peluang adanya pengawasan. Pengawasan sosial adalah konsekuensi
langsung itikad baik yang diwujudkan dalam tindakan kebaikan.
Dalam mewujudkan pengawasan itulah dibutuhkan
keterbukaan dalam masyarakat. Mengingat setiap manusia sebagai mahluk yang
lemah mungkin saja mengalami kekeliruan dan kekhilafan, maka dengan keterbukaan
itu, setiap orang mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk
didengar, sementara dari pihak yang mendengar ada kesediaan untuk mendengar
dengan rendah hati untuk merasa tidak selalu benar, bersedia mendengar pendapat
orang lain untuk diikuti mana yang terbaik.
Masyarakat madani antara lain merupakan masyarakat
demokratis yang terbangun dengan menegakkan musyawarah. Musyawarah pada
hakikatnya adalah interpretasi positif berbagai individu dalam masyarakat yang
saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan mengakui adanya kewajiban
mendengar pendapat itu. Dalam bahasa lain, musyawarah adalah hubungan
interaktif, untuk saling mengingatkan tentang kebaikan dan kebenaan serta
ketabahan dalam mencari penyelesaian masalah bersama, dalam suasana persamaan
hak dan kewajiban warga masyarakat.
Dalam proses musyawarah itu muncul hubungan sosial
yang luhur dilandasi toleransi dan plualisme. Toleransi dan pluralisme ini tak
lain adalah wujud sikap kejiwaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri
sendiri tidak selalu benar, meskipun sesuatu yang tidak selalu benar atas suatu
masalah, mungkin berbeda antara pribadi dan kelompok. Pluralisme dan toleransi
ini tak lain merupakan wujud dari “ikatan keadaban” dalam arti masing-masing
pribadi dan kelompok dalam lingkungan yang lebih luas, memandang yang lain
dengan penghargaan walaupun perbedaan ada, tanpa saling memaksakan kehendak,
pendapat, atau pandangan sendiri.
BAB III
PENUTUP
Masyarakat madani adalah sebuah masyarakat dimana
penegasan mengenai pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan agama
adalah sebagai syarat mutlak dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Sebagai
kesatuan sosial, masyarakat madani merupakan kumpulan manusia yang secara
individual mengedepankan perilakunya berdasarkan moralitas keagamaan, baik
dalam proses interaksi antar individu maupun secara kolektif.
Berdasarkan pentingnya moralitas agama itulah,
tampaknya demokrasi bukanlah syarat yang mencukupi untuk membangun masyarakat
madani. Jika masyarakat madani dipahami sebagai syarat demokrasi, maka terbentuknya
institusi-institusi sosial yang otonom pada gilirannya hanya akan menjadi malapetaka
berupa konflik-konflik sosial dan politik yang berbahaya, apabila setiap
individu di dalamnya tidak bersedia saling menunjukkan toleransi, termasuk
dalam hubungan antar agama, suku, asosiasi-asosiasi masyarakat lainnya. Disinilah
eksistensi masyarakat madani, karena itu, perilakunya harus mencerminkan
keberadaban. Setiap individu dan kelompok dituntut saling menghargai perbedaan,
tanpa merusak integrasi kehidupan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Surya
Culla. 1999. Masyrakat Madani : pemikiran, teori, dan relevansinya
dengan cita-cita reformasi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.