Selasa, 06 November 2012

makalah PKN


MASYARAKAT MADANI
DALAM  PANDANGAN ISLAM

MAKALAH

Diajukan guna memenuhi tugas
dalam mata kuliah Pancasila dan kewarganegaraan


Dosen Pengampu :

Dra. Hj. Ermi Suhasti S., MSI.




Disusun Oleh :


Royfa Tri Pamungkas
NIM : 12350027/AS-A




AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN
Masyarakat madani merupakan bentuk Indonesia dari istilah bahasa Inggris civil society yang memiliki kandungan makna bagaimana sebuah negara itu harus berlaku kepada masyarakat yang dinaunginya. Secara umum cita-cita ideal dari masyarakat madani adalah memberikan sesuatu yang terbaik kepada warga masyarakat yang berada di dalamnya.
Sebenarnya merupakan masalah yang sulit untuk mencari padanan kata civil society dalam bahasa Indonesia. Sebab istilah ini memiliki kandungan makna yang begitu luas. Peng-Indonesia-an kata per kata dirasa tidak memenuhi untuk menggambarkan makna yang terkandung dalam bahasa aslinya. Namun demikian bebarapa cendekiawan kita telah berusaha memberikan padanannya. Salah satu yang paling terkenal adalah dari apa yang digagaskan oleh Nurcholis Madjid berupa masyarakat madani. Padanan ini beliau lontarkan dalam pembahasan tentang bagaimana masyarakat yang ideal dalam pandangan Islam, mengingat  latar belakang beliau sendiri adalah cendekiawan muslim Indonesia.

                                               
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah masyarakat madani itu sebenarnya merujuk pada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi Muhammad di negeri Madinah. Perkataan Madinah dalam bahasa arab dapat dipahami dari dua sudut pengertian. Pertama, secara konvensional kata madinah dapat bermakna sebagai “kota”, dan kedua, secara kebahasaan dapat berarti “peradaban”; meskipun di luar kata “madaniyah” tersebut, apa yang disebut peradaban juga berpadanan dengan kata “tamaddun” dan “hadlarah”.
Sebelumnya, apa yang dikenal sebagai kota madinah itu adalah daerah yang bernama Yatsrib. Nabi-lah yang kemudian mengubah namanya menjadi Madinah, setelah hijrah ke kota itu. Perubahan nama Yatsrib menjadi Madinah pada hakikatnya adalah sebuah proklamasi untuk mendirikan dan membangun masyarakat berperadaban di kota itu. Dasar-dasar masyarakat madani inilah, yang tertuang dalam sebuah dokumen “Piagam Madinah” yang didalamnya menyangkut antara lain wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, tanggung jawab sosial dan politik, serta pertahanan, secara bersama.
Di kota Madinah-lah, Nabi membangun masyarakat berperadaban berlandaskan ajaran Islam, masyarakat yang bertaqwa kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Semangat ketaqwaan yang dalam dimensi vertical untuk menjamin hidup manusia, agar tidak jatuh hina dan nista.
Ciri mendasar dari masyarakat madani yang dibangun Nabi Muhammad antara lain :
1.      egalitarianisme (doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama derajat)
2.      penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras, dan sebagainya)
3.      keterbukaan partisipasi seluruh anggota (masyakat aktif)
4.      penegakan hukum dan keadilan
5.      toleransi dan pluralisme
6.      musyawarah
Dalam mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan manusia-manusia yang secara pribadi berpandangan hidup dengan semangat Ketuhanan, dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia. Untuk itu, Nabi telah memberikan keteladanan dalam mewujudkan ciri-ciri masyarakat madani.
Dalam rangka penegakan hukum dan keadilan misalnya, Nabi tidak membedakan antara orang atas dan orang bawah. Nabi pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah jika orang atas melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi kalau orang bawah melakukan pasti dihukum. Karena itu, Nabi juga misalnya menegaskan contoh, bahkan seandainya Fatimah, putri kesayangannya melakukan kejahatan, maka akan dihukumnya sesuai ketentuan yang berlaku.
Masyarakat madani membutuhkan adanya pribadi-pribadi yang tulus yang mengikatkan jiwa pada kebaikan bersama. Tetapi, meskipun demikian komitmen pribadi saja sebenarnya tidak cukup. Mengingat “itikad baik” bukan perkara yang mudah diawasi dari luar diri. Maka harus diiringi dengan tindakan nyata yang mewujud dalam  bentuk amal saleh. Tindakan ini harus diterapkan dalam kehidupan kemasyarakatan, dalam tatanan kehidupan kolektif yang memberi peluang adanya pengawasan. Pengawasan sosial adalah konsekuensi langsung itikad baik yang diwujudkan dalam tindakan kebaikan.
Dalam mewujudkan pengawasan itulah dibutuhkan keterbukaan dalam masyarakat. Mengingat setiap manusia sebagai mahluk yang lemah mungkin saja mengalami kekeliruan dan kekhilafan, maka dengan keterbukaan itu, setiap orang mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk didengar, sementara dari pihak yang mendengar ada kesediaan untuk mendengar dengan rendah hati untuk merasa tidak selalu benar, bersedia mendengar pendapat orang lain untuk diikuti mana yang terbaik.
Masyarakat madani antara lain merupakan masyarakat demokratis yang terbangun dengan menegakkan musyawarah. Musyawarah pada hakikatnya adalah interpretasi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Dalam bahasa lain, musyawarah adalah hubungan interaktif, untuk saling mengingatkan tentang kebaikan dan kebenaan serta ketabahan dalam mencari penyelesaian masalah bersama, dalam suasana persamaan hak dan kewajiban warga masyarakat.
Dalam proses musyawarah itu muncul hubungan sosial yang luhur dilandasi toleransi dan plualisme. Toleransi dan pluralisme ini tak lain adalah wujud sikap kejiwaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selalu benar, meskipun sesuatu yang tidak selalu benar atas suatu masalah, mungkin berbeda antara pribadi dan kelompok. Pluralisme dan toleransi ini tak lain merupakan wujud dari “ikatan keadaban” dalam arti masing-masing pribadi dan kelompok dalam lingkungan yang lebih luas, memandang yang lain dengan penghargaan walaupun perbedaan ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri.

BAB III
 PENUTUP
Masyarakat madani adalah sebuah masyarakat dimana penegasan mengenai pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan agama adalah sebagai syarat mutlak dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Sebagai kesatuan sosial, masyarakat madani merupakan kumpulan manusia yang secara individual mengedepankan perilakunya berdasarkan moralitas keagamaan, baik dalam proses interaksi antar individu maupun secara kolektif.
Berdasarkan pentingnya moralitas agama itulah, tampaknya demokrasi bukanlah syarat yang mencukupi untuk membangun masyarakat madani. Jika masyarakat madani dipahami sebagai syarat demokrasi, maka terbentuknya institusi-institusi sosial yang otonom pada gilirannya hanya akan menjadi malapetaka berupa konflik-konflik sosial dan politik yang berbahaya, apabila setiap individu di dalamnya tidak bersedia saling menunjukkan toleransi, termasuk dalam hubungan antar agama, suku, asosiasi-asosiasi masyarakat lainnya. Disinilah eksistensi masyarakat madani, karena itu, perilakunya harus mencerminkan keberadaban. Setiap individu dan kelompok dituntut saling menghargai perbedaan, tanpa merusak integrasi kehidupan bernegara.








DAFTAR PUSTAKA
Adi Surya Culla. 1999. Masyrakat Madani : pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Read More - makalah PKN